Thursday, October 24, 2013
Taylor Swift Hand Heart Drawing
I finally post it !!!! my Taylor Swift Hand Heart Drawing !!! did this during class too :/ the fingers is actually really hard to draw, but i really like drawing her flawless hair~
Hope you all like it !! ;)
And remember, this life is sweeter than fiction =D
~ 2VES
also follow my Taylor Swift instagram fanpage @painting_swift :)
Friendship Drawing ~ 2VES
Another drawing that i drew during class, (i'm so sorry teachers ><) and well yeah, the hair is totally weird, but i like it anyway, but what i love best about this one is actually the bricks, i don't even know why :b
Well, i just want to tell you that it's hard to find a 'real' bestfriend, that will always be there for you, help you, give advices for you, make sure that you're fine, cheer you, be crazy with you, make sure that you do the right things and much more.. so when you find that person, hold it. don't let go. and do the same for them, give them a big hug, and say "thankyou, for being there for me" and love them with all your heart <3
~ 2VES
Ariel : The Little Mermaid drawing :)
just a friendly question, have you smiled today ? if you haven't, go to a mirror and do weird faces >.<
have a blast today !!
~ 2VES
Saturday, October 5, 2013
Cerpen "Sahabat Terbaik"
Sahabat Terbaik
“Via, tolong kerjakan pr matku ya,”
Ucap viola padaku. “baiklah,” kubalas dengan tersenyum. Ya. Itulah yang sering
kulakukan di sekolah. Mengerjakan pr-pr temanku. Hanya dengan cara itulah aku
bisa bergaul dengan mereka, berbincang dengan mereka, dan merasa diakui.
***
Aku, Olivia Leaticia, baru saja
pindah ke sekolah ini sebulan yang lalu. Ibuku tidak sanggup membayar rumah
kami yang sebelumnya dan kami terpaksa pindah. Aku tinggal hanya bersama ibuku,
karena ayahku meninggal ketika aku masih kecil dan aku hanyalah anak
satu-satunya. Aku selalu ingin membantu ibuku bekerja, tapi ia melarangku
karena pendidikan adalah hal terpenting baginya. Ibuku selalu medukungku dan
tidak kenal lelah, oleh sebab itu aku berusaha belajar sekeras mungkin untuk
menyenangkannya. Aku bisa bersekolah di sini juga karena beasiswa, jadi ibuku
tidak perlu mengkhawatirkan biaya uang sekolah.
Aku saat ini duduk di bangku kelas
XI. Aku selalu berharap bisa mendapatkan seorang teman. Di sekolah lamaku, aku
tidak mempunyai seorang teman sama sekali karena mereka menganggapku rendah.
Sakarang, aku ingin bisa bergaul dengan mereka, berbincang, dan merasa diakui.
Aku sangat bersyukur, mereka yang mengajakku berteman adalah orang dari
kalangan atas, sehingga teman-teman yang lain mengakuiku. Sayangnya, mereka
hanya memanfaatkanku. Pikiran yang ada di kepalaku hanyalah, “aku akan menjadi
semakin pintar jika aku menolong mereka.”
Semakin lama mereka semakin
memaksaku untuk mengerjakan tugas-tugas mereka. Aku sudah tidak tahan, tapi apa
yang bisa kulakukan ? Aku tidak bisa bertanya pada ibuku, tidak ada teman yang
bisa kupercaya untuk kuceritakan, dan guru-guru juga tidak peduli pada mereka
yang datang dari kalangan bawah.
Di masa-masa frustasiku mengerjakan
tugas-tugas mereka, aku pergi ke perpustakaan. Di sana aku melihat dia. Kakak kelas
yang selalu kukagumi. Anehnya, ia hanya memandang rak buku dihapadannya. Aku
perhatikan tingkah lakunya, dan tiba-tiba ia melihat ke arahku. Dengan cepat
aku kembali mengerjakan tugas teman-temanku. Aku memang seorang yang pemalu,
tidak berani menghampirinya, hanya memandangnya dari kejauhan.
“Hei, kayaknya kamu selalu di
perpustakaan ngerjain tugas. seinget aku, dulu tugasku gak sebanyak itu,” ucapnya lembut sambil berjalan ke arah aku.
Sejenak aku terkejut. Aku memandang ke sekelilingku dan hanya aku yang berada
dihadapannya. Ia pun tersenyum geli melihat tingkah lakuku. “Tugas apa yang
lagi kamu kerjain ? atau lebih tepatnya tugas siapa ?” tanyanya kemudian. Aku
terdiam sebentar. “hmm, Kakak tahu dari mana ini bukan tugasku ?” tanyaku malu.
Dengan senyuman manisnya ia menjawab, “kamu kelihatannya seorang yang tekun dan
rajin, tapi serajin-rajinnya orang, ia tidak akan menghabiskan waktunya di
perpustakaan ngerjain tugas yang sama.” Dia memperhatikanku ? Kenapa dia bisa
tahu kalau aku mengerjakan tugas yang sama terus ? “Oh ya, hai, namaku Denis,”
katanya dengan senyuman yang lembut. “hmm, namaku Olivia,” balasku sePD mungkin. Lalu ia duduk di depanku dan
mencoba membantuku mengerjakan tugas-tugas yang menumpuk itu.
Semenjak itu, kami sering bertemu
di perpustakaan dan ia suka membantuku mengerjakan tugas teman-temanku. Dia
memang suka gemes melihat aku mengerjakan tugas-tugas mereka, tapi mau
bagaimana lagi ? Itu satu-satunya cara aku merasa diakui. Dia sering
menasihatiku untuk mengatakan “tidak”, tapi aku tetap tidak bisa mengatakan
“tidak”.
Dia benar-benar orang yang tidak
kenal lelah, sama seperti ibuku. Dia terus menasihatiku setiap hari, dan aku
tidak pernah bosan mendengarnya karena dia adalah sosok kakak yang selama ini
kuinginkan. Sosok sahabat yang selalu kuidam-idamkan. Sosok teman yang selalu
berada di sampingku, memperhatikanku, dan selalu menegurku ketika aku salah.
Dia juga seorang yang pintar, tapi ia rendah hati. Ia selalu mengajariku ketika
aku tidak bisa.
Tahun ini memang tahun yang berat
baginya. Ia tidak bisa terus menerus berada di sisiku. Ia tetap harus mengikuti berbagai macam les untuk
bisa lulus dengan nilai yang memuaskan. Aku memang mendukungnya, tapi sekarang
tidak ada lagi yang menemaniku di perpustakaan. Aku hanya duduk sendiri dan
mengerjakan tugas teman-temanku yang terus menumpuk.
***
“Via, koq pr ku yang ini nilainya
jelek ?” Tanya Tasha padaku. Tatapannya sangat sinis ketika ia mengatakannya.
Aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku mematung. “koq malah diem ajah sih ?” bentaknya. Dengan ragu-ragu
akhirnya aku menjawab, “maaf”. “kalo sampe jelek lagi, awas ya !” bentaknya
kemudian, lalu ia pergi meninggalkanku.
Sesaat setelah Tasha pergi, aku
menggerakkan kakiku dan mulai melangkah pergi tanpa tujuan. Aku pun terkejut
ketika kakiku itu membawaku ke perpustakaan. Sepertinya hatiku memang ingin
bertemu lagi dengan Kak Denis, tapi ia tidak ada di sana. Ia mungkin sedang
belajar untuk ujian. Hal itu mengingatkanku kalau sebentar lagi orang yang
sangat kupercayai di sekolah ini akan benar-benar pergi dari sisiku. Aku tidak
ingin memikirkannya, tapi susah untuk dihilangkan dari kepala. Dengan pikiran
yang campur aduk, aku dudk di sebuah kursi, mengambil sebuah pen dan buku, lalu
aku mulai menulis. Menulis dan terus menulis. Aku bahkan tidak tahu apa yang
aku tulis. Perasaan ini begitu menyakitkan.
Tiba-tiba, di balik pintu, aku
melihat sosok yang kukenal dengan sangat baik. Kak Denis. Mukaku kembali
berseri. Persaan senang tak dapat kututupi. Ia menghampiriku dan kami mulai ngobrol
seperti biasanya.
***
Ujian Nasional akan segera dimulai.
aku hanya tinggal berharap Kak Denis dapat mengerjakan dengan baik. Hari
pertama berlalu. Lalu datanglah hari kedua. Dengan cepat hari berganti lagi
hingga akhirnya ujian telah selesai. Walaupun bukan aku yang mengikuti ujian,
tapi aku merasa lega. Aku sudah tidak sabar bertemu dengan Kak Denis dan
ngobrol bersamanya lagi.
Aku menunggunya di perpustakaan.
Kami sudah janjian akan bertemu di sana. selagi aku menunggu, aku mendengar
teriakan seseorang. “tidaaak !” teriak orang itu. Aku penasaran. Lalu aku
mengintip di jendela untuk melihat apa yang terjadi. Sudah banyak orang yang
berkerumun di sana. Aku pun mulai berjalan keluar perpustakaan. Aku mendekati
tempat orang-orang itu berkumpul. Aku mendengar desas-desus perkataan mereka,
“kasihan sekali anak itu,” “bagaimana perasaan orang tuanya ?” “padahal masih
muda.” Rasa penasaranku mulai meluap. Akhirnya aku mencooba untuk mengintip apa
yang terjadi dibalik semuanya ini.
Hatiku berdetak sangat kencang. Aku
panik. Keringat dingin mulai bercucuran. Kakiku gemetar. Badanku terasa lemas.
Aku tidak bisa bergerak sama sekali. Suara ambulan mulai terdengar. Air mataku
mulai berjatuhan. Tidak ada lagi yang bisa kuperbuat.
Mereka membawanya ke rumah sakit
terdekat. Aku menyusulnya secepat mungkin. Aku masih tidak mempercayainya. Ia
baru saja menyelesaikan ujiannya. Kenapa dia ? kenapa harus Kak Denis ?
Aku duduk di kursi ruang tunggu.
Dengan perasaan yang bercampur aduk aku menunggunya selesai dioperasi. Satu jam
berlalu, tangisku tetap bercucuran. Tidak bisa kuhentikan tangisan ini. 2 jam
berlalu, tangisku mulai berkurang. Tanpa ada kabar dari dokter, aku terus
menunggu. Tidak lama kemudian, aku tertidur. Aku terlalu lelah.
***
Sejak saat itu, aku berubah. Aku
sudah tidak berteman lagi dengan Viola, Tasha, dan lainnya. Semenjak aku
mengatakan “tidak” mereka pergi meninggalkanku. aku memang tidak mempunyai
sahabar di kelasku ini, tapi aku pernah merasakan kasih sayang seorang sahabat.
Aku memang tidak mempunyai seorang teman di kelasku ini, tapi aku belajar untuk
tidak dimanfaatkan oleh orang lain.
Aku menjadi lebih percaya diri
sejak kejadian itu. Memang itu membutuhkan waktu yang lama, tapi aku terus
belajar, belajar dan belajar. Hidup ini memang selalu diwarnai dengan belajar,
baik itu secara materi atau pun moral.
Walaupun aku sudah melanjutkan
hidupku, aku selalu mengingat taruhannya sebelum ia menempuh ujian, “kalau aku
bisa mendapatkan minimal nilai 9,5 di tiap pelajaran nanti, kamu harus berani mengatakan
‘tidak’, harus mulai percaya diri, dan jangan pernah mau untuk dimanfaatkan.”
Walaupun akhirnya ia mendapat nilai 9 di salah satu pelajaran, aku memutuskan
bahwa inilah saatnya aku berubah. Ia membuatku berubah.
***
Dua tahun kemudian. Aku sudah duduk
di bangku perguruan tinggi. Kini aku bukan lagi gadis yang hanya duduk di kursi
mengerjakan tugas, tapi aku sudah mulai mempunyai teman karena diriku sendiri.
Aku bisa lagi merasakan yang namanya teman sejati, yang selalu mengerti aku dan
menasihatiku. Tapi aku tidak akan pernah melupakan sahabat yang membuatku
berubah, sahabat yang aku kagumi, yang membuatku menjadi seperti sekarang ini. Terima
kasih sahabat, kau akan selalu kukagumi.
Karya : 2VES ~ E
Subscribe to:
Posts (Atom)