Saturday, October 5, 2013

Cerpen "Sahabat Terbaik"

Sahabat Terbaik 

“Via, tolong kerjakan pr matku ya,” Ucap viola padaku. “baiklah,” kubalas dengan tersenyum. Ya. Itulah yang sering kulakukan di sekolah. Mengerjakan pr-pr temanku. Hanya dengan cara itulah aku bisa bergaul dengan mereka, berbincang dengan mereka, dan merasa diakui.
***
Aku, Olivia Leaticia, baru saja pindah ke sekolah ini sebulan yang lalu. Ibuku tidak sanggup membayar rumah kami yang sebelumnya dan kami terpaksa pindah. Aku tinggal hanya bersama ibuku, karena ayahku meninggal ketika aku masih kecil dan aku hanyalah anak satu-satunya. Aku selalu ingin membantu ibuku bekerja, tapi ia melarangku karena pendidikan adalah hal terpenting baginya. Ibuku selalu medukungku dan tidak kenal lelah, oleh sebab itu aku berusaha belajar sekeras mungkin untuk menyenangkannya. Aku bisa bersekolah di sini juga karena beasiswa, jadi ibuku tidak perlu mengkhawatirkan biaya uang sekolah.
Aku saat ini duduk di bangku kelas XI. Aku selalu berharap bisa mendapatkan seorang teman. Di sekolah lamaku, aku tidak mempunyai seorang teman sama sekali karena mereka menganggapku rendah. Sakarang, aku ingin bisa bergaul dengan mereka, berbincang, dan merasa diakui. Aku sangat bersyukur, mereka yang mengajakku berteman adalah orang dari kalangan atas, sehingga teman-teman yang lain mengakuiku. Sayangnya, mereka hanya memanfaatkanku. Pikiran yang ada di kepalaku hanyalah, “aku akan menjadi semakin pintar jika aku menolong mereka.”
Semakin lama mereka semakin memaksaku untuk mengerjakan tugas-tugas mereka. Aku sudah tidak tahan, tapi apa yang bisa kulakukan ? Aku tidak bisa bertanya pada ibuku, tidak ada teman yang bisa kupercaya untuk kuceritakan, dan guru-guru juga tidak peduli pada mereka yang datang dari kalangan bawah.
Di masa-masa frustasiku mengerjakan tugas-tugas mereka, aku pergi ke perpustakaan. Di sana aku melihat dia. Kakak kelas yang selalu kukagumi. Anehnya, ia hanya memandang rak buku dihapadannya. Aku perhatikan tingkah lakunya, dan tiba-tiba ia melihat ke arahku. Dengan cepat aku kembali mengerjakan tugas teman-temanku. Aku memang seorang yang pemalu, tidak berani menghampirinya, hanya memandangnya dari kejauhan.
“Hei, kayaknya kamu selalu di perpustakaan ngerjain tugas. seinget aku, dulu tugasku gak sebanyak itu,” ucapnya lembut sambil berjalan ke arah aku. Sejenak aku terkejut. Aku memandang ke sekelilingku dan hanya aku yang berada dihadapannya. Ia pun tersenyum geli melihat tingkah lakuku. “Tugas apa yang lagi kamu kerjain ? atau lebih tepatnya tugas siapa ?” tanyanya kemudian. Aku terdiam sebentar. “hmm, Kakak tahu dari mana ini bukan tugasku ?” tanyaku malu. Dengan senyuman manisnya ia menjawab, “kamu kelihatannya seorang yang tekun dan rajin, tapi serajin-rajinnya orang, ia tidak akan menghabiskan waktunya di perpustakaan ngerjain tugas yang sama.” Dia memperhatikanku ? Kenapa dia bisa tahu kalau aku mengerjakan tugas yang sama terus ? “Oh ya, hai, namaku Denis,” katanya dengan senyuman yang lembut. “hmm, namaku Olivia,” balasku sePD mungkin. Lalu ia duduk di depanku dan mencoba membantuku mengerjakan tugas-tugas yang menumpuk itu.
Semenjak itu, kami sering bertemu di perpustakaan dan ia suka membantuku mengerjakan tugas teman-temanku. Dia memang suka gemes melihat aku mengerjakan tugas-tugas mereka, tapi mau bagaimana lagi ? Itu satu-satunya cara aku merasa diakui. Dia sering menasihatiku untuk mengatakan “tidak”, tapi aku tetap tidak bisa mengatakan “tidak”.
Dia benar-benar orang yang tidak kenal lelah, sama seperti ibuku. Dia terus menasihatiku setiap hari, dan aku tidak pernah bosan mendengarnya karena dia adalah sosok kakak yang selama ini kuinginkan. Sosok sahabat yang selalu kuidam-idamkan. Sosok teman yang selalu berada di sampingku, memperhatikanku, dan selalu menegurku ketika aku salah. Dia juga seorang yang pintar, tapi ia rendah hati. Ia selalu mengajariku ketika aku tidak bisa. 
Tahun ini memang tahun yang berat baginya. Ia tidak bisa terus menerus berada di sisiku. Ia  tetap harus mengikuti berbagai macam les untuk bisa lulus dengan nilai yang memuaskan. Aku memang mendukungnya, tapi sekarang tidak ada lagi yang menemaniku di perpustakaan. Aku hanya duduk sendiri dan mengerjakan tugas teman-temanku yang terus menumpuk.   
***
“Via, koq pr ku yang ini nilainya jelek ?” Tanya Tasha padaku. Tatapannya sangat sinis ketika ia mengatakannya. Aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku mematung. “koq malah diem ajah sih ?” bentaknya. Dengan ragu-ragu akhirnya aku menjawab, “maaf”. “kalo sampe jelek lagi, awas ya !” bentaknya kemudian, lalu ia pergi meninggalkanku.
Sesaat setelah Tasha pergi, aku menggerakkan kakiku dan mulai melangkah pergi tanpa tujuan. Aku pun terkejut ketika kakiku itu membawaku ke perpustakaan. Sepertinya hatiku memang ingin bertemu lagi dengan Kak Denis, tapi ia tidak ada di sana. Ia mungkin sedang belajar untuk ujian. Hal itu mengingatkanku kalau sebentar lagi orang yang sangat kupercayai di sekolah ini akan benar-benar pergi dari sisiku. Aku tidak ingin memikirkannya, tapi susah untuk dihilangkan dari kepala. Dengan pikiran yang campur aduk, aku dudk di sebuah kursi, mengambil sebuah pen dan buku, lalu aku mulai menulis. Menulis dan terus menulis. Aku bahkan tidak tahu apa yang aku tulis. Perasaan ini begitu menyakitkan.
Tiba-tiba, di balik pintu, aku melihat sosok yang kukenal dengan sangat baik. Kak Denis. Mukaku kembali berseri. Persaan senang tak dapat kututupi. Ia menghampiriku dan kami mulai ngobrol seperti biasanya.
                                                                                            ***                        
Ujian Nasional akan segera dimulai. aku hanya tinggal berharap Kak Denis dapat mengerjakan dengan baik. Hari pertama berlalu. Lalu datanglah hari kedua. Dengan cepat hari berganti lagi hingga akhirnya ujian telah selesai. Walaupun bukan aku yang mengikuti ujian, tapi aku merasa lega. Aku sudah tidak sabar bertemu dengan Kak Denis dan ngobrol bersamanya lagi.
Aku menunggunya di perpustakaan. Kami sudah janjian akan bertemu di sana. selagi aku menunggu, aku mendengar teriakan seseorang. “tidaaak !” teriak orang itu. Aku penasaran. Lalu aku mengintip di jendela untuk melihat apa yang terjadi. Sudah banyak orang yang berkerumun di sana. Aku pun mulai berjalan keluar perpustakaan. Aku mendekati tempat orang-orang itu berkumpul. Aku mendengar desas-desus perkataan mereka, “kasihan sekali anak itu,” “bagaimana perasaan orang tuanya ?” “padahal masih muda.” Rasa penasaranku mulai meluap. Akhirnya aku mencooba untuk mengintip apa yang terjadi dibalik semuanya ini.
Hatiku berdetak sangat kencang. Aku panik. Keringat dingin mulai bercucuran. Kakiku gemetar. Badanku terasa lemas. Aku tidak bisa bergerak sama sekali. Suara ambulan mulai terdengar. Air mataku mulai berjatuhan. Tidak ada lagi yang bisa kuperbuat.
Mereka membawanya ke rumah sakit terdekat. Aku menyusulnya secepat mungkin. Aku masih tidak mempercayainya. Ia baru saja menyelesaikan ujiannya. Kenapa dia ? kenapa harus Kak Denis ?
Aku duduk di kursi ruang tunggu. Dengan perasaan yang bercampur aduk aku menunggunya selesai dioperasi. Satu jam berlalu, tangisku tetap bercucuran. Tidak bisa kuhentikan tangisan ini. 2 jam berlalu, tangisku mulai berkurang. Tanpa ada kabar dari dokter, aku terus menunggu. Tidak lama kemudian, aku tertidur. Aku terlalu lelah.  
***
Sejak saat itu, aku berubah. Aku sudah tidak berteman lagi dengan Viola, Tasha, dan lainnya. Semenjak aku mengatakan “tidak” mereka pergi meninggalkanku. aku memang tidak mempunyai sahabar di kelasku ini, tapi aku pernah merasakan kasih sayang seorang sahabat. Aku memang tidak mempunyai seorang teman di kelasku ini, tapi aku belajar untuk tidak dimanfaatkan oleh orang lain.
Aku menjadi lebih percaya diri sejak kejadian itu. Memang itu membutuhkan waktu yang lama, tapi aku terus belajar, belajar dan belajar. Hidup ini memang selalu diwarnai dengan belajar, baik itu secara materi atau pun moral.
Walaupun aku sudah melanjutkan hidupku, aku selalu mengingat taruhannya sebelum ia menempuh ujian, “kalau aku bisa mendapatkan minimal nilai 9,5 di tiap pelajaran nanti, kamu harus berani mengatakan ‘tidak’, harus mulai percaya diri, dan jangan pernah mau untuk dimanfaatkan.” Walaupun akhirnya ia mendapat nilai 9 di salah satu pelajaran, aku memutuskan bahwa inilah saatnya aku berubah. Ia membuatku berubah.
***
Dua tahun kemudian. Aku sudah duduk di bangku perguruan tinggi. Kini aku bukan lagi gadis yang hanya duduk di kursi mengerjakan tugas, tapi aku sudah mulai mempunyai teman karena diriku sendiri. Aku bisa lagi merasakan yang namanya teman sejati, yang selalu mengerti aku dan menasihatiku. Tapi aku tidak akan pernah melupakan sahabat yang membuatku berubah, sahabat yang aku kagumi, yang membuatku menjadi seperti sekarang ini. Terima kasih sahabat, kau akan selalu kukagumi. 



Karya  : 2VES ~ E

No comments:

Post a Comment